Wednesday, September 25, 2013

Penyakit Schistosomiasis di Kabupaten Poso

Scistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi  cacing  yang  tergolong  dalam  genus  Schistosoma.  Di Indonesia Schistosomiasis mulai dikenal sejak tahun 1935 oleh Dr. Brug dan Tesch, sedangkan hospes perantara sejenis keong amphibi (Oncomelania Hupensis Lindoensis) baru diketahui pertama kali tahun 1972. Penyebab Schistosomiasis di Indonesia adalah Schistosoma Japonicum, Schistosomiasis yang sebelumnya terbatas ditemukan di  Dataran Tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu kenyataannya sudah berkembang ke daerah yang baru akibat  terbukanya akses ke daerah tersebut, dimana telah ditemukan focus keong dan kasus schistosomiasis di daerah Bada (Kecamatan Lore Barat).
Masalah schistosomiasis cukup kompleks karena untuk melakukan pemberantasan harus melibatkan banyak  faktor,   dengan  demikian  pengobatan  masal  tanpa diikuti  oleh  pemberantasan  hospes perantara tidak akan mungkin  menghilangkan penyakit tersebut untuk waktu yang lama, lebih lagi schistosomiasis di Indonesia merupakan  penyakit zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi.
Sebelum kegiatan pemberantasan dilakukan prevalensi rate penyakit Schistosomiasis cukup tinggi yaitu rata – rata prevalensi 37 % dengan manifestasi klinis menonjol (sindrom disentri, hepato - splenomegali, perut membuncit, acites, icterus, dan anemia) dan banyak penduduk yang menjadi korban penyakit ini. Pada tahun 1988 prevalensi penyakit pada manusia sudah jauh menurun sampai rata – rata 1 – 2 %. Pada tahun 2001 – 2004 diadakan program pemberantasan terpadu schistosomiasis di dataran tinggi Napu dan Lindu dengan bantuan dana dari ADB. Prevalensi rate penyakit Schistosomiasis di Kabupaten Poso tahun 2001 sebesar 1 %, tahun 2002 sebesar 0,7 %, tahun 2003 0,7 % dan pada tahun 2004 sebesar 0,7 %. Pada tahun – tahun berikutnya prevalensi schistosomiasis cenderung meningkat dan bahkan ditemukannya focus keong baru dan penderita di daerah lembah Bada ( kecamatan Lore Barat ), berdasarkan data survey tinja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Poso dalam tiga tahun terakhir didapatkan prevalensi rate penyakit Schistosomiasis tahun 2010 dari 4 kecamatan ( 17 desa ) yang di survey terdapat 500 orang positif schistosomiasis dengan prevalensi rate sebesar 4,7 %, tahun 2011 dari 2 kecamatan (9 desa) yang di survey terdapat 163 orang positif schistosomiasis dengan prevalensi rate sebesar  2,1 % dan tahun 2012 dari 2 kecamatan ( 7 desa ) yang di survey terdapat 78 orang positif schistosomiasis dengan prevalensi rate sebesar  1,5 %.
Kegiatan program pemberantasan Schistosomiasis dilakukan dari tahun ke tahun berdasarkan anggaran yang tersedia, kegiatan tersebut terdiri dari survei tinja, survey keong, survey tikus, pengobatan penduduk, pemberantasan keong dan pengamatan penyakit. 
Penyebab Schistosomiasis yang ada di Kabupaten Poso adalah Schistosoma Japonicum, sama dengan Schistosoma yang ditemukan di Cina, Jepang dan Philipina. 
Kegiatan - kegiatan penemuan kasus, pencegahan dan pemberantasan penyakit Schistosomiasis terus dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan), Berikut sebagian dokumentasi kegiatan - kegiatan yang telah dilakukan :

Kegiatan Survey Tinja di Desa Lengkeka Kecamatan Lore Barat

Kegiatan Pencarian Folus Baru Keong Oncomelania Hupensis Lindoensis 
di Desa Lelio Kecamatan Lore Barat

Kegiatan Survey Keong Oncomelania Hupensis Lindoensis di Desa Lengkeka Kecamatan Lore Barat

Kegiatan Survey Tikus di Desa Kageroa Kecamatan Lore Barat


Cacing Schistosoma Japonicum (Jantan dan Betina) pada tikus di daerah fokus keong Oncomelania HL
di desa Lengkeka Kecamatan Lore Barat

Sercaria yang ditemukan pada keong Oncomelania HL di desa Lengkeka Kecamatan Lore Barat

Thursday, April 4, 2013

Metode Uji Silang dengan LQAS

Lot Quality Assurance Sampling (LQAS)

Upaya pengendalian Penyakit Tuberkulosis dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dengan 5 komponennya, yaitu :
  1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
  2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
  3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
  4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
  5. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Komponen yang kedua : Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, ini sangat berkaitan erat dengan mutu laboratorium di fasilitas pelayanan kesehatan. Laboratorium untuk pemeriksaan dahak sangat menentukan dalam mendiagnosis pada suspek TB. Mutu kinerja laboratorium mikroskopis TB dilakukan melalui pelaksanaan Pemantapan Mutu Eksternal (PME) dengan melakukan Uji Silang sediaan BTA oleh Laboratorium Rujukan Uji Silang (RUS) dalam jejaring laboratorium di wilayah.
Selama ini Uji Silang sediaan BTA dilakukan dengan metode konvensional yaitu 100% sediaan positif ditambah 10% sediaan negatif dengan Error Rate <5%. Mulai tahun 2007 Ditjen P2&ML Kemenkes RI telah melakukan Workshop tentang Uji Silang dengan metode LQAS (Lot Quality Assurance Sampling) di beberapa wilayah di Indonesia. 
Namun di Sulawesi Tengah dilaksanakan workshop pada tahun 2013 ( 1 - 5 April 2013 ), dan rencananya akan diterapkan kesemua fasilitas pelayanan kesehatan di Sulawesi Tengah pada Triwulan IV tahun 2013. 

Perbedaan Uji Silang Metode Konvensional dengan LQAS :
Konvensional LQAS
Samping : 100% slide positif ditambah 10% slide negatif Samping : semua slide mendapat kesempatan yang sama
Pemilihan slide tergantung dari minat petugas Pemilihan secara acak dengan menggunakan statistik sederhana
Formulir TB05, TB04 dan TB12 Formulir TB05, TB04 dan TB12 yang disempurnakan
Penyimpanan dipisahkan antara slide positif dan negatif Penyimpanan slide digabung sesuai dengan TB04
Analisis Uji Silang adalah Error Rate Berdasarkan derajat kesalahan
Error Rate >5% = jelek Satu Kesalahan Besar atau tiga Kesalahan Kecil = jelek
Kualitas : Sediaan dan Pewarnaan Kualitas : Spesimen, Pewarnaan, Kebersihan, Ketebalan, Ukuran dan Kerataan

Dengan adanya Metode LQAS ini :
  1. Tidak mengubah sistem uji silang tetapi hanya memutakhirkan metode uji silang.
  2. Menilai kinerja laboratorium secara menyeluruh.
  3. Tidak untuk konfirmasi diagnosis.
  4. Sediaan disimpan berdasarkan TB04.
  5. Setiap sediaan memelikik kesempatan yang sama untuk di uji silang.
  6. Penilaian kinerja berdasarkan jumlah dan tipe kesalahan bukan prosentase.
  7. Kemungkinan penyebab kesalahan lebih mudah diketahui.
Langkah-langkah dalam melakukan metode uji silang LQAS:
  1. Tentukan jumlah seluruh sediaan, jumlah sediaan positif dan jumlah sediaan negatif yang diperiksa pada tahun lalu.
    Nama Fasyankes Total Sediaan Jumlah Sediaan Positif Jumlah Sediaan Negatif
    A 428 34 394
    B 1368 75 1293
    C 633 40 593
  2. Hitung Slide Positivity Rate (SPR). SPR = Proporsi sediaan Positif diantara seluruh sediaan.
    Nama Fasyankes Total Sediaan Jumlah Sediaan S P R
    A 394 34 7,9%
    B 1293 75 5,5%
    C 593 40 6,3%
  3. Tentukan Sensitifitas, spesifitas dan jumlah kesalahan yang dapat diterima. Program P2TB menetapkan Sensitifitas=80%, Spesifitas=100% dan Jumlah Kesalahan yang dapat diterima=0.
  4. Pembacaan tabel pengambilan sediaan untuk metode LQAS. SPR dibulatkan ke bawah, Jumlah sediaan negatif dibulatkan ke atas. TableLQAS
  5. Hitung Jumlah Sediaan Uji Silang. Fasyankes A dengan SPR = 7,9% dibulatkan menjadi 7,5%, jumlah sediaan negatif 394 dibulatkan menjadi 400. Lihat perpotongan antara SPR 7,5% dan Sediaan negatif 400 yaitu 108 (untuk jumlah sediaan yang di uji silang selama 1 tahun). Untuk Fasyankes B jumlah sediaan yang di uji silang = 197, Fasyankes C = 167. Bila jumlah sediaan dalam 1 tahun kurang dari jumlah sampel maka seluruh sediaan yang ada harus diambil untuk uji silang.
  6. Hitung jumlah sediaan per triwulan. Jumlah sediaan yang sesuai dengan perpotongan (langkah 5) dibagi 4. Misalnya Fasyankes A, jumlah sediaan yang akan di uji silang = 108 dibagi 4 = 27. Jadi jumlah sediaan per triwulan di Fasyankes A yang akan di uji silang sebanyak 27 slide. Bila pada triwulan tersebut jumlah sediaan kurang maka seluruh sediaan di uji silang. Hasil pembagian per triwulan dibulatkan ke atas.
  7. Hitung interval pengambilan sediaan. Pada langkah ini memerlukan data jumlah seluruh sediaan pada triwulan yang akan dilakukan uji silang sesuai dengan TB04. Misalnya jumlah seluruh sediaan pada triwulan yang akan di uji silang sebanyak 200 slide, maka 200 dibagi 27 = 7,407 dan dibulatkan ke atas menjadi 8. Jadi interval untuk Fasyankes A = 8.
  8. Tentukan pengambilan sediaan pertama (Lot). Penentuan sediaan yang akan diambil pertama harus lebih kecil atau sama dengan interval. Misalnya interval 8, maka yang diambil adalah 1 slide diantara slide nomor 1 sampai slide nomor 8.image
  9. Pengambilan sediaan berdasarkan interval dan sesuai urutan TB04. Misalnya slide pertama yang diambil adalah slide nomor 5, maka sediaan yang akan di uji silang nomor : 5,13,21,29,37,45,53,61,69,85,93,101,109,117,125,133,141, 149,157,165,173,181,189,197. Jika ada salah satu slide hilang atau pecah, misal slide nomor 61 hilang maka slide nomor 61 diganti slide nomor 62. Urutan selanjutnya tetap.
KLASIFIKASI KESALAHAN BACA
image
KB = Kesalahan Besar
KK = Kesalahan Kecil
NPT = Negatif Palsu Tinggi
PPR = Positif Palsu Rendah
KH = Kesalahan Hitung
PPT = Positif Palsu Tinggi
Penilaian Kinerja Laboratorium dikatakan JELEK jika :
  • Terdapat KB (PPT, NPT).
  • Terdapat 3 KK yang nilainya setara dengan 1 KB.
Dengan adanya Uji Silang LQAS diharapkan dapat meningkatkan kinerja petugas Laboratorium dalam Pemeriksaan Mycobacterium Tuberkulosis untuk penentuan diagnosis kasus TB.

Wednesday, April 3, 2013

DOKUMENTASI MONEV TB & WORKSHOP LQAS

   Sebagai tindak lanjutnya, maka akan dilakukan sosialisasi ke tingkat fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Kabupaten Poso, yang rencananya akan dilaksanakan bersamaan dengan Monitoring dan Evaluasi Program TB Kabupaten Poso pada tanggal 17 - 18 April 2013.
  Tim Kab. Poso dalam kegiatan Monitoring Evaluasi Program TB Prov. Sulawesi Tengah dan Workshop LQAS dari Kementerian Kesehatan RI pada tanggal 1 - 5 April 2013, yang terdiri dari  :
  • Opyn Mananta,SKM.,M.Epid
  • Putu Madia Utama,S.Kep.,Ns
  • Raden Bagus Bambang Hermanto,S.Kep.,Ns
 Dokumentasi Kegiatan :
Foto bersama peserta dengan MOT Kemenkes RI


Tim Kabupaten Poso terbaik dalam latihan simulasi LQAS

Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)



1. Pengertian
Dalam Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu : 
a.Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak / instansi terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi DBD dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.

b.      Kasus DBD adalah penderita DBD atau SSD
c.       Penderita DBD adalah penderita penyakit yang didiagnosis sebagai DBD atau SSD
d.      Penegakan diagnosis DBD
-          Diagnosis klinis DBD adalah penderita dengan gejala demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang – kurangnya uji tourniquet positif). Trombositopenia (jumlah trombosit ≤ 100.000/μl), dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20 %)
-          Diagnosis Laboratoris adalah hasil pemeriksaan serologis pada tersangka DBD menunjukan hasil positif pada pemeriksaan HI test atau peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test.
e.       Penegakan diagnosis DD adalah gejala demam tinggi mendadak, kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Hasil pemeriksaan darah menunjukannleukopeni kadang dijumpai trombositopeni. Pada penderita DD tidak dijumpai kebocoran plasma atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita yang diduga DD menunjukan peninggian (positif) IgM saja.
f.     Tersangka DBD adalah penderita demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai tanda – tanda perdarahan sekurang – kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif dan atau jumlah trombosit ≤ 100.000 / μl.
g.    Laporan kewaspadaan dini DBD (KD/RS DBD) adalah laporan segera (paling lambat dikirimkan dalam 24 jam setelah penegakkan diagnosis) tentang adanya penderita (DD, DBD dan SSD) termasuk tersangka DBD agar segera dapat dilakukan tindakan atau langkah – langkah penanggulangan seperlunya.
h.      Laporan tersangka DBD dimaksudkan hanya untuk kegiatan proaktif surveilans dan peningkatan kewaspadaan, tetapi bukan sebagai laporan kasus atau penderita DBD.
i.   Unit pelayanan kesehatan adalah rumah sakit (RS), Puskesmas, Puskesmas Pembantu, balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek bersama, dokter praktek swasta, dan lain – lain.
j.    Puskesmas setempat ialah puskesmas dengan wilayah kerja di tempat dimana penderita DBD berdomisili.
k.      Stratifikasi desa / kelurahan DBD :
1)    Kelurahan / desa endemis adalah Kelurahan / desa yang dalam 3 tahun terakhir, setiap tahun ada penderita DBD.
2)  Kelurahan / desa sporadis adalah Kelurahan / desa yang dalam 3 tahun terakhir terdapat penderita DBD tetapi tidak setiap tahun.
3)    Kelurahan / desa potensial adalah Kelurahan / desa yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada penderita DBD, tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah yang lain dan presentase rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan 5 %.
4)   Kelurahan / desa bebas adalah kelurahan / desa yang tidak pernah ada penderita DBD selama 3 tahun terakhir dan presentase rumah yang ditemukan jentik kurang dari 5 %.
             2.      Alur Pelaporan Penyakit Demam Berdarah Dengue
a.       Pelaporan Rutin
1)      Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan tersangka atau penderita DBD wajib segera melaporkannya ke dinas kesehatan kabupaten / kota setempat selambat – lambatnya dalam 24 jam dengan tembusan ke puskesmas wilayah tempat tinggal penderita. Laporan tersangka DBD merupakan laporan yang dipergunakan untuk tindakan kewaspadaan dan tindak lanjut penanggulangannya juga merupakan laporan yang dipergunakan sebagai laporan kasus yang diteruskan secara berjenjang dari puskesmas sampai pusat. Formulir yang digunakan adalah formulir kewaspadaan dini RS (KD/RS-DBD) (lampiran 1), dan formulir rekapitulasi penderita DBD per bulan (DP-DBD/RS) (lampiran 2).
2)      Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota
·         Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan (lampiran 1)
·         Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan perbulan (lampiran 2)
·         Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)
·         Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
·         Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)
3)      Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten / kota ke dinas kesehatan provinsi
·         Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan perbulan (lampiran 2)
·         Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)
·         Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
·         Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)
4)       Pelaporan dari dinas kesehatan provinsi ke Ditjen PP & PL
·         Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan perbulan (lampiran 2)
·         Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)
·         Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
·         Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)
 Bagan Alur Pelaporan Demam Berdarah Dengue

b.      Pelaporan dalam situasi kejadian luar biasa
1)      Pelaporan oleh unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
·         Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
·     Pelaporan dengan formulir DP-DBD ditingkatkan frekuensinya menjadi mingguan atau harian (lampiran 2)
·         Pelaporan dengan formulir KD/RS-DBD tetap dilaksanakan (lampiran 1)
2)      Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota
·         Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
·         Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan (lampiran 1)
·         Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
3)      Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten / kota ke dinas kesehatan provinsi
·         Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
·         Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
4)       Pelaporan dari dinas kesehatan provinsi ke Ditjen PP & PL
·         Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
·         Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
c.       Umpan balik pelaporan
Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan serta analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing – masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan, minimal dua kali dalam setahun.
    3.      Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas
Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas meliputi kegiatan  pengumpulan dan pencatatan data tersangka DBD dan penderita DD,DBD,SSD; pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan KLB; KD/RS-DBD untuk pelaporan tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan; laporan KLB (W1); laporan mingguan KLB (W2-DBD); laporan bulanan kasus/kematian DBD dan program pemberantasan (K-DBD); data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD (DP-DBD), penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per RW/dusun, penentuan musim penularan dan kecenderungan DBD.
a.       Pengumpulan dan pencatatan data.
1)      Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit / unit pelayanan kesehatan lainnya).
2)      Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan harian penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
b.      Pengolahan dan Penyajian data.
Data dalam ‘Buku catatan harian penderita DBD’ diolah dan disajikan dalam bentuk :
1)      Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut desa/kelurahan
2)      Penyampaian laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD selambat – lambatnya dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan formulir KD/RS-DBD.
3)      Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan perbulan.
4)      Laporan mingguan (W2-DBD)
-          Jumlahkan penderita DBD dan SSD setiap minggu menurut desa / kelurahan
-          Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten / kota dengan formulir W2-DBD
5)      Laporan bulanan
-      Jumlahkan penderita / kematian DB, DBD, SSD termasuk data beberapa kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
-          Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten / kota dengan formulir K-DBD.
6)      Penentuan stratifikasi desa / kelurahan DBD
Cara menentukan stratifikasi (endemisitas) desa / kelurahan
-          Buatlah tabel desa/kelurahan dengan menjumlahkan penderita DBD dan SSD dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
House Index (HI)  =
Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik
X 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
-          Tentukan stratifikasi masing – masing desa/kelurahan menurut criteria stratifikasi desa/kelurahan
       
 
-          Stratifikasi desa tersebut di sajikan dalam bentuk peta
7) Mengetahui distribusi penderita DBD per RW/dusun, dibuat pertahun dengan cara menjumlahkan penderita DBD dan SSD per RW / dusun.
8)      Penentuan musim penularan DBD.
Jumlahkan penderita DBD dan SSD per bulan selama 5 tahun terakhir dan disajikan dalam bentuk table dan selanjutnya di sajikan dalam bentuk grafik.
9)      Mengetahui kecenderungan situasi penyakit, untuk mengetahui apakah situasi penyakit DBD diwilayah puskesmas tetap, naik atau turun.

   4.      Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dinas Kesehatan Kabupaten
a.       Pencatatan Data
1)      Sumber data
-          Laporan KD/RS-DBD dari RS (pemerintah atau swasta) 
-          Laporan data dasar personal DBD dari puskesmas (DP-DBD)
-          Laporan rutin bulanan (K-DBD) dari puskesmas
-          Laporan W1 dan W2-DBD
-          Laporan hasil surveilans aktif oleh dinas kesehatan kabupaten / kota ke unit pelayanan kesehatan
-          Cross Notification dari kabupaten / kota lain.
2)      Pencatatan data
-      Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD, misalnya menggunakan ‘Buku catatan penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
-          Perlu kecermatan terhadap kemungkinan pencatatan yang berulang untuk pasien yang sama, misalnya antara tersangka DBD dan penderita DBD selama proses perawatan dan antara penderita DBD yang dilaporkan RS dengan yang dilaporkan oleh puskesmas, sehingga perlu penyesuaian data.
b.      Pengolahan dan Penyajian Data
Dari data yang ada pada buku catatan penderita DD, DBD dan SSD dapat dilakukan penyajian data sebagai berikut :
-          Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut kecamatan
-          Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
-          Laporan mingguan (W2-DBD)
-      Laporan bulanan, jumlahkan dan laporkan penderita / kematian DD, DBD, SSD termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
-          Penentuan stratifikasi kecamatan DBD
-          Mengetahui distribusi penderita DBD per desa / kelurahan
-          Penentuan musim penularan
-         Mengetahui kecenderungan situasi DBD, untuk mengetahui apakah situasi penyakit DBD di wilayah kabupaten / kota tetap, naik atau turun.
-          Mengetahui jumlah penderita DD, DBD dan SSD per tahun
-          Mengetahui distribusi penderita dan kematian DBD menurut tahun, kelompok umur dan jenis kelamin 

Sumber : Ditjen P2PL Depkes RI, 2010, Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Jakarta.